Minggu, 01 Februari 2015
PERCOBAAN ISOTERM ADSORPSI
JUDUL PERCOBAAN
“ISOTERM ADSORPSI”
TUJUAN PERCOBAAN
Menentukan isoterm adsorpsi menurut Freudlich bagi proses adsorpsi asam asetat pada arang.
LANDASAN TEORI
Percobaan adsorpsi yang paling umum adalah menentukan hubungan jumlah gas teradsorpsi (pada adsorben) dan tekanan gas. Pengukuran ini dilakukan pada suhu tetap dan hasil pengukuran digambarkandalam grafik dan dan disebut isoterm adsorpsi. Pada tahun 1918, Langmuir menurunkan teori isoterm adsorpsi dengan menggunakan model sederhana berupa padatan yang mengadsorpsi gas pada permukaannnya. Pendekatan Langmuir meliputi lima asumsi mutlak, yaitu:
Gas yang teradsorpsi berkelakuan deal dalam fasa uap
Gas yang teradsorpsi dibatasi sampai lapisan monolayer
Permukaan adsorbat homogen, artinya afinitas setiap kedudukan ikatan untuk molekul gas sama.
Tidak ada antariksa lateral antara molekul adsorbat (Anonim,2009).
Adsorpsi adalah pengumpulan molekul-molekul suatu zat pada permukaan zat lain, sebagai akibat dari pada ketidakjenuhan gaya-gaya pada permukaan tersebut. Untuk proses adsorpsi dalam larutan, jumlah zat yang teradsorpsi bergantung pada beberapa faktor :
Jenis adsorben
Jenis adsorbat atau zat yang teradsorbsi
Luar permukaan adsorben
Konsentrasi zat terlarut
Temperatur
Bagi suatu sistem adsorpsi tertentu, hubungan antara banyaknya zat yang teradsorpsi, persatuan luas atau persatuan berat adsorben dengan konsentrasi zat terlarut pada temperatur tertentu disebut isoterm adsorpsi. Oleh Freudelich isoterm adsorpsi ini dinyatakan sebagai :
dx/dt = k1 ( a – x ) ( b – x )
Dengan
X = jumlah zat yang teradsorpsi
K1 = tetapan laju reaksi
a = konsentrasi awal ester, dalam mol liter-1
b = konsentrasi awal ion OH, dalam mol liter-1
persamaan ini mengungangkap, bahwa bila suatu proses adsorpsi menurut isoterm (soterm freudlich, maka aluran log x/m terhadap log c akan merupakan garis lurus). Dari garis dapat di evaluasi tetapan k dan n. (Tim dosen kimia, 2010:13).
Adsorpsi adalah proses penyerapan molekul (gas atau cair), oleh permukaan (padatan).defenisi tersebut digunakan untuk memperjelas terjadinya akumulasi molekul-molekul gas pada permukaan padatan. Adsorpsi dapat terjadi karena interaksi gaya elektrostatik atau van der waak antar molekul (physisrphon) maupun oleh adanya interaksi kimiawi antar molekul (kimisophon kimisorpsi). Kimisorpsi bisa dinyatakan oleh besarnya energi adsorpsi. Adsorpsi adalah peristiwa kesetimbangan kimia. Oleh karenanya, berkurangnya kadar zat yang teradsorpsi (adsorbat) oleh material pengadsorpsi (adsorpben) terjadi secara kesetimbangan. (Annonim, 2010).
Pada kesetimbangan, laju adsorpsi desorpsi gas adalah sama. Bila menyatakan fraksi yang ditempatioleh adsorpbar dan p menyatakan tekanan gas yang teradsorpsi maka k1 θ = k2 P (1-θ)
Dengan k1 dan k2 masing-masing merupan tetapan laju adsorpsi dan desorpsi. Jika didefenisikan a = k1/k2. Maka :
Θ = p/█((a+b)@)
Pada adsorpsi monolayer jumlah gas teradsorpsi pada tekanan p (y) dan jumlah gas yang diperlukan untuk membentuk lapisan monolayer dihubungkan dengan θ melalui persamaan :
Θ = Y/Ym
Y = (Ym p)/((a+P))
teori isoterm adsorpsi langmuir berlaku untuk adsorpsi kimia dimana reaksi yang terjadi adalah spesifik dan umumnya membentuk lapisan monolayer(sugianto,2004:166).
Isoterm paling sederhana, didasarkan pada asumsi bahwa setiap tempat adsorpsi adlah equivalen dan kemampuan partikel untuk terikat di tempat itu, tidak tergantung pada di tempati atau tidaknya tempat yang berdekatan. Keseimbangan dinamika adalah :
A(g) + M (permukaan) AM
Dengan konstanta laju ka untuk adsorpsi dan kd untuk adsorpsi laju perubahan penutupan permukaan karena adsorpsi sebanding dengan tekanan A sebesar P dan jumlah tempat kosong A (1-θ) dengan N merupakan jumlah tempat total :
Θ = kaPN (1-θ)
Laju perubahan θ karena desorpsi, sebanding dengan jumlah spesies yang teradsorpsi, Nθ
Θ=Kd N θ
(Afkins, 1995:439)
ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan :
Erlenmeyer 250 ml 7 buah
Erlenmeyer bertutup 250 ml 6 buah
Pipet volume 10 ml dan 25 ml dan 5 ml
Pipet ukur 25 ml
Buret 50 ml + klem 2 buah
Botol semprot
Batang pengaduk
Spatula
Pipet tetes
Termometer 100o C
Shaker
Kurs
Bahan yang digunakan :
Larutan asam asetat 0.500M, 0,250M, 0,125M, 0,0625M, 0,313M dan 0,0156M
Larutan standar NaOH 0,1N
Karbon/ arang
Indikator pp
PROSEDUR KERJA
Mengaktifkan arang dengan cara memanaskan dalam kurs diatas api
Memasukkan arang kedalam erlenmeyer bertutup masing-masing 1 gram
Memasukkan 50 ml larutan asam asetat dengan konsentrasi 0,500M, 0,250M, 0,125M, 0,0625M, 0,313M dan 0,0156M kedalam erlenmeyer yang berisi arang
Menutup labu erlenmeyer tersebut dan membiarakan selama 50 menit. Dalam rentang waktu ini larutan ini dikocok selama satu menit secara teratur
Menyaring larutan dengan kertas saring yang kering
Larutan filtrat dititrasi
Dua laruta dengan konsentrasi paling tinggi diambil 5ml dan dititrasi dengan larutan NaOH
Larutan dengan konsentrasi 0,125M diambil sebanyak 10ml dan dititrasi dengan larutan NaOH, begitupun 3 larutan dengan konsentrasi terendah sebanyak 5 ml, kemudian dititrasi.
Masing-masing larutan sebelum dititrasi ditambah indikator pp
HASIL PENGAMATAN
Standarisasi Larutan NaOH
50 ml H2C2O4 0,2 M 100 mLdiencerkan 100 mL H2C2O4 0,1 N 10 mlambil + indicator PP NaOH titrasi larutan merah muda (3X titrasi ) V1 = 9,1, V2 = 9,2 ml (0,22 M NaOH)
Isoterm Adsorpsi
Arang diaktifkan merah membara, 1 gram arang + CH3COOH (0,5; 0,25; 0,125 ; 0,0625; 0,313; 0,0156 ) M 10 menit selama 30 menit kocok saring fitrat bening
CH3COOH 0,5000 M (10 ml) titrasiNaOH 63,8 ml
CH3COOH 0,2500 M (10 ml) titrasiNaOH 27,2 ml
CH3COOH 0,1250 M (25 ml) titrasiNaOH 37,5 ml
CH3COOH 0,0625 M (50 ml) titrasiNaOH 28 ml
CH3COOH 0,0313 M (50 ml) titrasiNaOH 9,9 ml
CH3COOH 0,0156 M (50 ml) titrasiNaOH 5,1 ml
ANALISIS DATA
Erlenmeyer I = 0,5 M
[CH3COOH] awal = 0,5 M
mmol CH3COOH awal = V X M
= 100 ml X 0,5000 M
= 50 mmol
mmol CH3COOH sisa = mmol NaOH = V X M
= 63,8 ml X 0,2 M
= 12,76 mmol
mmol CH3COOH yang teradsorpsi = mmol awal – mmol sisa
= 50 mmol – 12,76 mmol
= 37,24 mmol
Jumlah CH3COOH yang teradsorpsi = X = n . BM
= 37,24 mmol X 60 mg/mmol
= 2234,4 mg
= 2,2344 gram
Massa arang = 1 gram
X/m = (2,2344 gram)/(1 gram) = 2,2344 => log X/m = 0,3491
[CH3COOH] sisa = C = (mmol sisa)/V = (12,76 mmol)/(10 ml)
= 1,26 M
Log C = 0,158
Erlenmeyere 2
[CH3COOH] awal = 0,2500 M
mmol CH3COOH awal = V X M
= 100 ml X 0,2500 M
= 25 mmol
mmol CH3COOH sisa = mmol NaOH = V X M
= 27,2 ml X 0,2 M
= 5,44 mmol
mmol CH3COOH yang teradsorpsi = mmol awal – mmol sisa
= 25 mmol – 5,44 mmol
= 19,56 mmol
Jumlah CH3COOH yang teradsorpsi = X = n . BM
= 19,56 mmol X 60 mg/mmol
= 1173,2 mg
= 1,1732 g
Massa arang = 1 gram
X/m = (1,1732 gram)/(1 gram) = 1,1732 => log X/m = 0,0693
[CH3COOH] sisa = C = (mmol sisa)/V = (5,44 mmol)/(10 ml)
= 0,544 M
Log C = - 0,264
Erlenmeyer 3
[CH3COOH] awal = 0,1250 M
OH awal = V X M
= 100 ml X 0,1250 M
= 12,5 mmol
mmol CH3COOH sisa = mmol NaOH = V X M
= 37,5 ml X 0,2 M
= 7,5 mmol
mmol CH3COOH yang teradsorpsi = mmol awal – mmol sisa
= 12,5 mmol – 7,5 mmol
= 5 mmol
Jumlah CH3COOH yang teradsorpsi = X = n . BM
= 5 mmol X 60 mg/mmol
= 300 mg
= 0,3 g
Massa arang = 1 gram
X/m = (0,3 gram)/(1 gram) = 0,3 => log X/m = -0,522
[CH3COOH] sisa = C = (mmol sisa)/V = (7,5 mmol)/25ml
= 0,3 M
Log C = -0,5228
Erlenmeyer 4
[CH3COOH] awal = 0,0625 M
mmol CH3COOH awal = V X M
= 100 ml X 0,0625 M
= 6,25 mmol
mmol CH3COOH sisa = mmol NaOH = V X M
= 28 ml X 0,2 M
= 5,6 mmol
mmol CH3COOH yang teradsorpsi = mmol awal – mmol sisa
= 6,25 mmol – 5,60 mmol
= 0,65 mmol
Jumlah CH3COOH yang teradsorpsi = X = n . BM
= 0,65 mmol X 60 mg/mmol
= 39 mg
= 0,039 g
Massa arang = 1 gram
X/m = (0,039 gram)/(1 gram) = 0,039 => log X/m = -1,4089
[CH3COOH] sisa = C = (mmol sisa)/V = (5,6 mmol)/(50 ml)
= 0,112 M
Log C = - 0,9507
Erlenmeyer 5
[CH3COOH] awal = 0,0313 M
mmol CH3COOH awal = V X M
= 100 ml X 0,0313 M
= 3,13 mmol
mmol CH3COOH sisa = mmol NaOH = V X M
= 9,9 ml X 0,2 M
= 1,98 mmol
mmol CH3COOH yang teradsorpsi = mmol awal – mmol sisa
= 3,13 mmol – 1,98 mmol
Jumlah CH3COOH yang teradsorpsi = X = n . BM
= 1,15 mmol X 60 mg/mmol
= 69 mg
= 0,069 g
Massa arang = 1 gram
X/m = (0,069 gram)/(1 gram) = 0,069 => log X/m = -1,1611
[CH3COOH] sisa = C = (mmol sisa)/V = (1,98 mmol)/(50 ml)
= 0,396 M
Log C = - 1,4023
Erlenmeyer 6
[CH3COOH] awal = 0,0156 M
mmol CH3COOH awal = V X M
= 100 ml X 0,0156 M
= 1,56 mmol
mmol CH3COOH sisa = mmol NaOH = V X M
= 5,1 ml X 0,2 M
= 1,02 mmol
mmol CH3COOH yang teradsorpsi = mmol awal – mmol sisa
= 1,56 mmol – 1,02 mmol
= 0,54 mmol
Jumlah CH3COOH yang teradsorpsi = X = n . BM
= 0,54 mmol X 60 mg/mmol
= 32,4 mg
= 0,0324 g
Massa arang = 1 gram
X/m = (0,0324 gram)/(1 gram) = 0,0324 => log X/m = -1,4894
[CH3COOH] sisa = C = (mmol sisa)/V = (1,02 mmol)/(50 ml)
= 0,0204 M
Log C = - 1,6903
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini adsorban yang digunakan adalah arang atau karbon aktif. Sebelum arang ini digunakan harus diaktivasi terlebih dahulu untuk memperbesar pori – pori sehingga dapat menyerap dengan baik. Setelah arang diaktifkan ditambahkan dengan larutan asam dengan konsentrasi yang berbeda – beda, kemudian dikocok, pengocokan dapat mempengaruhi banyaknya zat yang teradsorpsi. Setelah dikocok, campuran disaring. Filtrate yang diperoleh dititrasi dengan larutan NaOH dengan menggunakan volume yang berbeda- beda untuk dua larutan yang memiliki konsentrasi paling tinggi dipipet sebanyak 10 mL dan dititrasi dengan larutan standar NaOH yang sebelumnya telah distandarisasi dan diketahui konsentrasinya adalah 0,2 M. larutan berikutnya diambil 25 mL dan tiga larutan dengan kosentrasi paling rendah diambil masing – masing 50 mL. Larutan ini juga dititrasi dengan larutan NaOH yang tadi. Tapi sebelum dititrasi jangan lupa menambahkan indicator phenoptalein. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan bahwa, semakin tinggi konsentrasi larutan maka semakin banyak molekul CH3COOH yang teradsorpsi. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi terhadap adsorpsi. Untuk mengetahui banyaknya asam asetat yang teradsorpsi oleh arang maka larutan ini dititrasi dengan NaOH. Berkurangnya konsentrasi asam asetat menandakan adanya sejumlah zat yang teradsorpsi oleh arang. Dari hasil analisis data terlihat bahwa semakin besar konsentrasi asam asetat, maka jumlah zat yang teradsorpsi semakin besar karena pada konsentrasi yang tinggi semakin banyak zat terlarut sehingga semakin banyak yang diadsorpsi. Hal ini berarti semakin sedikit CH3COOH sisa, artinya NaOH yang digunakan semakin sedikit. Tapi hal ini berbeda dengan yang dipraktekkan. Hal ini dikarenakan kesalahan poada saat menimbang.
Hasil perhitungan diperoleh nilai C (konsentrasi CH3COOH sisa) dan X/m ( massa CH3COOH yang teradsorpsi berbanding massa arang sebelum adsorpsi). Dari hasil ini diplotkan pada grafik menurut persamaan freudlich sehingga diperoleh kurva curam. Kurva tersebut menunjukkan kapasitas adsorpsi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi keseimbangan.
PENUTUP
Kesimpulan
Daya adsorpsi adsorben dipengaruhi oleh konsentrasi zat terlarut, jenis adsorben, jenis adsorbat, dan luas permukaan adsorben
Kapasitas atau daya adsorpsi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi zat terlarut dalam larutan.
Saran
Diharapkan kepada praktikan selanjutnya untuk lebih teliti dalam percobaan ini terutama dalam pemilihan bahan
JAWABAN PERTANYAAN
Perbedaan isotherm adsorpsi fisik dengan adsorpsi kimia yaitu :
Adsorpsi fisik
Atraksi mengikuti gaya van der walls reaktifitas energy rendah
Selalu terjadi dengan cepat pada temperature rendah dan kebalikannya
Selalu reversible sempurna
Besarnya adsorbsi adalah mendekat adanya hubungan pencairan gas
Membentuk lapisan multi molekuler
Adsorbsi kimia
Reaksi mengikuti gaya ikat kimia sehingga energy aktivitasnya tinggi dapat terjadi pada termperatur yang sangat tinggi
Seringkali irreversible
Tidak berpengaruh adsorbsi dengan penncairan gas
Membentuk lapisan monomolekuler
Contohnya :
Adsorpsi kimia seperti pada percobaan ini yaitu asam asetat dengan arang
Adsorpsi zat utama yaitu adsorpsi lapis molekul tunggal.
Proses adsorpsi pada percobaan ini adalah adsorpsi fisik karena hanya terjadi pada asam asetat pada permukaan arang sehingga hanya ada daya atau gaya tarik – menarik secra fisika tanpa ada perubahan kimia .
Pengaktifan arang dengan menggunakan pemansandapat menyebabkan pori- pori pada arang melebar sehinngga arang dapat lebih aktif atau mudah dalam mengasorpsi asam asetat.
Isotherm freudlick secara empiric dan hanya berlaku untuk gas yang bertekanann rendah. Persamaannya adalah V = K . p 1/n
Isoterm adsorpsuntuk adfsorpsi : gas pada permukaan zat padat kurang memuaskan dibandingkan dengan isotherm adsorpsi langmunier.
DAFTAR PUSAKA
Anonim. 2010. Adsorpsi. http : // isafatimah.staff. uii –ac - id / 2010/04/26/. Diakses tanggal 3 Desember 2010.
Anonim. 2010. Isotherm Adsorpsi. http: // adikimia.blog.friendster. com/. Diakses tanggal 3 Desember 2010.
Atkins. 1995. Kimia Fisik jilid 2. Erlangga : Jakarta
Sugiayarto.2004. kimia anorganik I.UNY press : Yogyakarta
Tim Dosen Kimia Fisik. 2010. Penuntun Praktikum kimia Fisik II. FMIPA UNM : Makassar
PERSAMAAN ARRHENIUS
JUDUL PERCOBAAN
Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi
TUJUAN PERCOBAAN
Mahasiswa diharapkan mampu:
menjelaskan hubungan antara laju reaksi dengan temperatur; dan
menghitung energi aktivasi (Ea) menggunakan persamaan Arrhenius.
LANDASAN TEORI
Reaksi-reaksi kimia berlangsung dengan kecepatan yang beraneka ragam. Ada reaksi yang lambat dan ada pula reaksi yang cepat. Perkaratan besi, reaksi-reaksi kimia dalam tubuh, dan reaksi antara bahan cat dengan oksigen merupakan contoh reaksi yang berlangsung lambat. Reaksi antara larutan asam dan basa atau reaksi pembakaran campuran bensin dan udara di dalam mesin kendaraan bermotor merupakan contoh reaksi yang sangat cepat (Tim Penyusun Kimia ; 1992 ; 60).
Kecepatan mempunyai hubungan dengan selang waktu. Apabila waktu yang diperlukan singkat, berarti kecepatannya besar, sebaliknya jika selang waktunya panjang, dikatakan bahwa kecepatannya kecil. Jadi, kecepatan berbanding terbalik dengan waktu. Reaksi kimia menyatakan perubahan suatu zat menjadi zat lain, yaitu perubahan suatu reaksi menjadi hasil reaksi. Perubahan ini dinyatakan dalam sebuah persamaan reaksi (Tim Penyusun Kimia ; 1992 ; 60).
Laju didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi per satuan waktu. Satuan yang umum adalah mol dm. Umumnya laju reaksi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dan dapat dinyatakan sebagai:
Laju ≈ f(C1, C2,...Ci)
Laju = k f(C1, C2,...Ci)
dimana k adalah konstanta laju, juga disebut konstanta laju spesifik atau konstanta kecepatan, (C1, C2,...Ci) adalah konsentrasi dari reaktan-reaktan dan produk-produk (Dogra ; 2008 ; 622).
Laju reaksi akan sebanding dengan pangkat konsentrasi spesies reaktan yang terlibat dalam penentuan jalannya reaksi atau reaksi. Untuk menyatakan hubungan tersebut secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan laju reaksi (Yateman Aryanto ; 2008; 22).
Menurut Suparni (2009), faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan reaksi:
Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh ukuran partikel/zat.
Semakin luas permukaan maka semakin banyak tempat bersentuhan untuk berlangsungnya reaksi. Luas permukaan zat dapat dicapai dengan cara memperkecil ukuran zat tersebut.
Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh suhu
Semakin tinggi suhu reaksi, kecepatan reaksi juga akan makin meningkat sesuai dengan Arrhenius.
Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh katalis
Adanya katalisator dalam reaksi dapat mempercepat jalannya suatu reaksi. Kereaktivan dari katalis bergantung dari jenis dan konsentrasi yang digunakan.
Jika logaritma suatu tetapan kecepatan yang diukur digambarkan terhadap kebalikan dari temperatur absolut, biasanya ditemukan bahwa titik-titik itu sangat berdekatan tempatnya pada garis lurus dengan kemiringan negatif. Pada sebarang temperatur T kemiringan itu dipakai untuk menentukan energi aktivasi Arrhenius Ea, dengan hubungan:
(d lnk)/(d (1/T) )= -Ea/R
atau
(d lnk)/(d T)= Ea/(R T^2 )
dan tentu, jika keniringannya konstan, Ea konstan. Untuk reaksi kebalikannya, yang tetapan kecepatannya k’, enrgi aktivasi yang bersesuain dengan Ea’ diberikan oleh:
(d lnk')/(d T)= Ea'/(R T^2 )
(Kenneth Denbigh ; 1980 ; 530-531).
Dalam ilmu kimia, energi aktivasi merupakan sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Svante Arrhenius, yang didefinisikan sebagai energi yang harus dilampaui agar reaksi kimia dapat terjadi. Energi aktivasi dapat juga diartikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi. Energi aktivasi sebuah reaksi biasanya dilambangkan sebagai Ea, dengan satuan kilo joule per mol (Anonim ; 2010).
Pengamatan empiris menemukan bahwa banyak reaksi mempunyai konstanta laju yang mentaati persamaan Arrhenius:
lnk=ln〖A-〗 Ea/(R T)
Reaksi orde pertama A/s- Ea/kJ mol-
CH3NC CH3CN 3.98 × 1013 160
2 N2O5 4 NO2 + O2 4.94 × 10 13 103.4
Reaksi orde kedua A/s- Ea/kJ mol-
OH + H2 H2O + H 8 × 1010 42
NaC2H5O + CH3I dalam etanol 2.42 × 1011 81.6
Jadi banyak reaksi, ternyata grafik antara ln k terhadap 1/T menghasilkan garis lurus. Persamaan Arrhenius sering dituliskan sebagai:
k=A e^(-Ea/RT)
A disebut faktor praeksponensial dan Ea adalah energi pengaktivan. Secara bersamaan, keduanya disebut parameter Arrhenius reaksi, dan beberapa nilai eksperimen diberikan dalam tabel di atas (Atkins ; 1997 ; 345-346).
Menurut Jim Clark (2004), persamaan Arrhenius digambarkan sebagai berikut:
k=A e^(-Ea/RT)
Arti dari berbagai simbol di atas:
Temperatur atau suhu, T
Agar berlaku dalam persamaan, suhu harus diukur dalam kelvin.
Konstanta atau tetapan gas, R
Tetapan ini datang dari persamaan, PV = nRT, yang berhubungan dengan tekanan, volume, dan suhu dalam jumlah tertentu dari mol gas.
Energi aktivasi, Ea
Ini merupakan energi minimum yang diperlukan bagi reaksi untuk berlangsung. Agar berlaku dalam persamaan, kita harus mengubah menjadi satuan joule per mol, bukan kJ/mol. e adalah harga satuannya adalah 2.71828.
Ekspresi, e
Ekspresi ini menghitung fraksi dari molekul yang berada dalam keadaan gas dimana memiliki energi yang sama atau lebih dari energi aktivasi pada suhu tertentu.
Faktor frekuensi, A
A merupakan istilah yang meliputi faktor seperti frekuensi tumbukan dan orientasinya. A sangat bervariasi bergantung pada suhu walau hanya sedikit. A sering dianggap sebagai konstanta pada jarak perbedaan suhu yang kecil.
Suatu reaksi dapat terjadi bila energi yang diperoleh selama tumbukan tersebut berhasil melewati energi aktivasi (Ea). Tumbukan terjadi antara dua molekul yang berbeda, misalnya A dan B (reaksi bimolekuler), energi penghalang A dan B membentuk kompleks aktif (Tim Dosen Kimia Fisik II ; 2010 ; 6).
ALAT DAN BAHAN
Alat
Tabung reaksi 20 buah
Rak tabung reaksi 2 buah
Termometer 100oC dan 110oC, masing-masing 3 buah
Statif dan klem
Gelas kimia 250 mL, 2 buah
Pipet tetes
Labu semprot
Pembakar spiritus
Kaki tiga dan kasa asbes
Stopwatch
Gelas ukur 100 mL
Gelas ukur 10 mL 4 buah
Neraca analitik
Sendok
Batang pengaduk
Gelas kimia 800 mL
Botol semprot
Bahan
Aquadest (H2O)
Larutan (NH¬4)2S2O8 0.04 M
Larutan KI
Larutan Na2S2O3 0.04 M
Amilum 3%
Tissu
Korek api
Label
CARA KERJA
Pembuatan larutan kanji 3%
Menimbang 3 gram tepung kanji
Melarutkan tepung kanji tersebut ke da;am 100 mL air panas/mendidih
Mengaduk larutan tersebut sampai semua larut
Penentuan energi Akivasi (Ea)
Menyediakan 20 buah tabung reaksi bersih
Memasukan 5 mL S2O8-2 0.04 M dan 5 mL H2O ke dalam tabung reaksi 1 pada sistem I
Memasukkan 10 mL larutan KI, 1 mL s2O32- 0.04 M, larutan kanji 3% pada tabung 2 dengan suhu 70oC untuk sistem I
Mencampurkan isi kedua tabung reaksi dengan cara memasukkan isi tabung reaksi larutan 1 ke larutan 2
Menuangkan kembali ke tabung 1 secepat mungkin
Menjalankan stopwatch dan mengukur waktu yang diperlukan campuran hingga tampak warna biru
Mengulangi prosedur 2 dan 3 untuk suhu 60oC, 50oC, 40oC, dan 30oC
Untuk sistem II, mengukur 7 mL S2O32- 0.04 M dan 3 mL H2O, pada tabung suhu dengan suhu 70oC
Untuk tabung 2 pada sistem II, mengukur 2 mL H2O, 8 mL larutan KI, 1 mL larutan kanji 3%, dan 1 mL larutan S2O32- 0.04 M pada suhu 70oC
Mengulangi prosedur 4-7
HASIL PENGAMATAN
Sistem I
Suhu Campuran/oC Waktu Reaksi/detik Suhu rata-rata/oC 1/T/K^-
×10-3 ln 1/T
60 120 3210,5 3.12 -4.8
50 290 314.5 3.18 -5.7
40 384 307 3.26 -5.9
30 791 301.5 3.311 -6.7
20 973 301 3.32 -6.8
Siatem II
Suhu Campuran/oC Waktu Reaksi/detik Suhu rata-rata/oC T/K 1/T/K^-
×10-3 ln 1/T
60 194 52.5 325.5 3.0 -5.3
50 251.5 46.5 319.5 3.1 -5.5
40 5011.5 38.5 311.5 3.2 -6.2
30 848 31.5 304.5 3.3 -7.7
20 2107.5 24.5 297.5 3.4 -7.6
ANALISIS DATA
Berdasarkan Teori
ln k_2 = ln A -Ea/RT_2
ln k_2 = ln A -Ea/RT_1
ln k_2-ln〖k_1 〗 = -Ea/RT_2 + Ea/RT_1
Sistem I
Untuk Ea dan ln A secara grafik
-Ea/R=tanθ
-Ea/R=(y_2-y_1)/(x_2-x_1 )
-Ea/R=(-4.8- (-6.8))/(3.2-3.12)
=(-4.8)/0.20
= 10
- Ea=tanθ ×R
- Ea=10 × 8.314 J/mol
-Ea=83.14J/mol
Untuk T1 = 60 oC
Ln k = ln A - □(Ea/RT)
Ln〖A 〗= ln k - □(Ea/RT)
lnA =-4.8- (83.14 J/mol)/(8.314 J/mol. 320.5 k)
lnA=-4.8 + 0.0312
Ln A =-44.7688
Untuk T2 = 50 oC
Ln k = ln A - □(Ea/RT)
Ln〖A 〗= ln k - □(Ea/RT)
lnA =-5.7- (83.14 J/mol)/(8.314 J/mol. 314.5 k)
lnA=-5.7 + 0.0318
Ln A =-5.6682
Untuk T3 = 40 oC
Ln k = ln A - □(Ea/RT)
Ln〖A 〗= ln k - □(Ea/RT)
lnA =-5.9- (83.14 J/mol)/(8.314 J/mol. 307 k)
lnA=-5.9 + 0.0326
Ln A =-5.8674
Untuk T4 = 30 oC
Ln k = ln A - □(Ea/RT)
Ln〖A 〗= ln k - □(Ea/RT)
lnA =-6.7- (83.14 J/mol)/(8.314 J/mol. 301.5 k)
lnA=-6.7 + 0.0332
Ln A =-6.667
Untuk T5 = 20 oC
Ln k = ln A - □(Ea/RT)
Ln〖A 〗= ln k - □(Ea/RT)
lnA =-5.9- (83.14 J/mol)/(8.314 J/mol. 307 k)
lnA=-5.9 + 0.0326
Ln A =-5.8674
Untuk T4 = 30 oC
Ln k = ln A - □(Ea/RT)
Ln〖A 〗= ln k - □(Ea/RT)
lnA =-4.8- (83.14 J/mol)/(8.314 J/mol. 320.5 k)
lnA=-4.8 + 0.0312
Ln A =-4.7688
ln k_2/k_1 = -Ea/R (1/T_2 - 1/T_1 )
〖ln 〗□((- 4.8)/(- 5.7))=-Ea/(8.314 J/mol K) (1/320- 1/314.5) K^-
0.172 =-Ea/(8.314 J/mol) (5.952 ×〖10〗^(-5) )
Ea_1=-(0.172 x 8.314 J/mol)/(5.952 ×〖10〗^(-5) )
-Ea_1=-(1.430 J/mol)/(5.952 ×〖10〗^(-5) )
Ea_1= - 24025.5J/mol
Sistem I
Ea1
ln k_2/k_1 = -Ea/R (1/T_2 - 1/T_1 )
-5.274-(-5.2678)=-Ea/(8.314 J/mol K) (1/319.5- 1/325.5) K^-
-0.2596 =-Ea/(8.314 J/mol) (0.057 ×〖10〗^(-3) )
-Ea_1=-(2.1583 J/mol)/((0.057 ×〖10〗^(-3) ) )
-Ea= -37865.165 J/mol
Ea=37.865 kJ/mol
Ea2
ln k_3/k_2 = -Ea/R (1/T_3 - 1/T_2 )
-6.2176-(-5.274)=-Ea/(8.314 J/mol K) (1/311- 1/319.5) K^-
-0.6902 =-Ea/(8.314 J/mol) (0.081 ×〖10〗^(-3) )
-Ea_2=-(5.7383 J/mol)/((0.081 ×〖10〗^(-3) ) )
〖〖-Ea〗_2〗^ =70843.49 J/mol
Ea_2=70.843 kJ/mol
Ea3
ln k_4/k_3 = -Ea/R (1/T_4 - 1/T_3 )
-6.7429-(-6.2176)=-Ea/(8.314 J/mol K) (1/304.5- 1/311.5) K^-
-0.6025=-Ea/(8.314 J/mol) (0.074 ×〖10〗^(-3) )
-Ea_3=-(5.7383 J/mol)/(0.074 ×〖10〗^(-3) )
〖〖-Ea〗_3〗^ =59018.16 J/mol
Ea_3=59.018 kJ/mol
Untuk ln A secara teori
ln 1/T=lnA-Ea/R (1/T_2 - 1/T_1 )
ln k_3/k_4 =lnA-Ea/R (1/T_3 - 1/T_4 )
-6.2176—6.7429 =lnA-59018.16/(8.314 J/mol K) (1/311.5- 1/304.5) K^-
-0.5253 =lnA-5018.16/(8.314 J/mol) (–o.074 ×〖10〗^(-3) )
0.5253=lnA-4.3637/(8.314 J/mol)
-0.5253=lnA-0.5352
A= 1.6909/(-0.5352)
A= 3.2190
Untuk Ea dan ln A secara grafik
-Ea/R=tanθ
-Ea/R=(y_2-y_1)/(x_2-x_1 )
-Ea/R=(-7.6532 (-5.2678))/(0.003361-0.003072)
=(-2.3854)/(0.298×〖10〗^(-3) )
= -8004.69
- Ea=tanθ ×R
- Ea=-8004.69 × 8.314 J/mol
-Ea=-66551.06 J/mol
PEMBAHASAN
Percobaan yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara laju reaksi dengan temperatur, oleh karena itu temperatur sistem yang digunakan pada percobaan tersebut dibuat bervariasi. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan campuran sistem yang akan digunakan pada sistem I dan sistem II. Pada tabung 1 yang merupakan sistem I berisi (NH4)2S2O8 dan H2O. Sedangkan tabung 2 yaitu sistem I berisi larutan kanji, larutan KI, dan (NH4)2S2O3.
Adapun larutan kanji yang digunakan dibuat saat aka digunakan agar larutan tersebut dalam keadaan baik/tidak rusak pada saat digunakan karena larutan kanji sangat mudah rusak bila disimpan lama. Larutan kanji berfungsi sebagai indikator yang akan menunjukkan perubahan warna larutan menjadi biru ketika larutan telah bereaksi. Larutan (NH4)2S2O8 berfungsi sebagai pengoksidasi ion iodida menjadi I2. H2O berfungsi untuk mengencerkan larutan (NH4)2S2O8.
Percobaan pertama dilakukan pada suhu 60oC. Pada suhu tersebut, kedua tabung dimasukkan kke dalam penangas, setelah suhu di dalam tabung sama dengan suhu penangas, kedua tabung tersebut diangkat dan dengan cepat mencampurkan isi tabung ari tabung 1 ke 2 kemudian dituang kembali ke tabung 1, langkah ini harus dilakukan dengan cepat agar pada saat pencampuran suhunya tidak turun secara drastis. Pencampuran larutan dilakukan dari tabung 1 ke tabung 2 agar pembentukan kompleks warna biru dapat terjadi perlahan-lahan sehingga waktunya dapat diukur, sedangkan jika dilakukan sebaliknya, warna biru dapat terjadi secara menyeluruh. Pada saat warna biru mulai tampak di dalam tabung, suhu campuran dan waktu yang dibutuhkan hingga menjadi biru secara keseluruhan diukur. Hal ini dilakukan untuk membandingkan waktu dan suhu yang digunakan untuk bereaksi sistem yang sama pada suhu yang berbeda. Pada percobaan ini dilakukan pengukuran pada suhu 60oC, 50oC, 40oC, 30oC, dan 20oC. Semakin tinggi suhu maka semakin cepat proses laju reaksi dikarenakan adanya tumbukan-tumbukan antar molekul.
Dari analisis data diperoleh Ea untuk sistem I yaitu Ea = + 24.0255 kJ/mol. Sedangkan Ea grafik yakni + 83.14kJ/mol. Untuk sistem 2 yaitu 3.2190 kJ/mol pada grafik 66.551 kJ/mol. Dari kedua perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai Ea pada perhitungan (teori) jauh lebih kecil dibandingkan Ea pada grafik. Hal ini terjadi karena adanya penggunaan rumus yang berbeda dalam penentuannya. Namun kedua rumus tersebut masing-masing dapat menjelaskan besar energi aktivasi suatu sistem.
Adapun reaksi yang terjadi untuk sistem I dan II:
Pada tabung 1:
2 S2O82- + 2 H2O 4 SO42- + O2 + 4 H+
Pada tabung 2:
I3- + 2 S2O32- 3I- + S4O62-
S2O32- + I3- 3I-
2 S2O3I- + I- S4O62- + I3-
S2O3I- + S2O3- S4O62- + I-
PENUTUP
Simpulan
Semakin tinggi suhu maka laju reaksi akan semakin cepat dan demikian sebaliknya.
Nilai Ea yang diperoleh untuk sistem I yakni Ea untuk sistem I yaitu Ea1 = + 24.0255 kJ/mol. Sedangkan Ea grafik yakni + 83.14kJ/mol. Untuk system 2 yaitu 3.2190 kJ/mol pada grafik 66.551 kJ/mol.
Saran
Diharapkan agar praktikan lebih teliti dan hati-hati dalam melakukan percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Energi Aktivasi. Oonline (http://www.wikipedia.org). Diakses pada tanggal 10 oktober 2011
Atkins. 1997. Kimia Fisika II Edisi Ke Empat. Jakarta: Erlangga
Dogra. 2008. Kimia Fisik dan Soal-Soal. Jakarta: UIT Press
Jim Clark. 2004. Tetapan Laju dan Persamaan Arrhenius. Online (http://www.chem-is-try.org). Diakses pada tanggal 12 0ktober 2011
Kenneth, Denbigh. 1980. Prinsip-Prinsip Kesetimbangan Kimia. Jakarta: Erlangga
Suparni. 2010. Fakktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi. Online (http://www.chem-is-try.org). Diakses pada tanggal 12 oktober 2011
Tim Dosen Kimia Fisika II. Pennuntun Praktikum Kimia Fisika II. Makassar: Laboratorium Kimia FMIPA UNM
Tim Penyusun Kimia. 1992. Stoikiometri. Bandung: Pakar Raya
Yateman Aryanto. 2008. Mekanisme Reaksi Anorganik. Yogyakarta: Jurusan Kimia UGM
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK II
A.
JUDUL
PERCOBAAN
Penentuan Orde Reaksi
dan Tetapan Laju Reaksi
B.
TUJUAN
PERCOBAAN
1. Menunjukkan
bahwa reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida adalah reaksi orde dua.
2. Menentukan
tetapan laju reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida dengan cara
titrasi.
C.
LANDASAN
TEORI
Laju
reaksi atau keepatan reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi zat
pereaksi atau produk reaksi tiap satuan waktu.
Laju reaksi= perubahan
konsentrai
Waktu yang diperlukan untuk perubahan
Untuk
reaksi,
Waktu
|
Volume
NaOH(ml)
|
3
menit
|
16,00
|
5
menit
|
17,10
|
15
menit
|
17,30
|
25
menit
|
17,70
|
40
menit
|
18,80
|
65
menit
|
18,90
|
Laju = -
Laju
didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi per satuan waktu. Satuan yang umum
adalah mol/dm. Umumnya laju reaksi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
dan dapat dinyatakan sebagai:
Laju = kf (C1,C2,….Ci)
Dimana
k adalah konstanta laju,juga disebut konstanta laju spesifik atau konstanta
kecepatan, C1,C2,…. Adalah konsentrasi dari
reaktan-reaktan dan produk-produk. Sebagai contoh dalam hal reaksi umum:
aA + bB + ….. → pP + qQ
+ …
laju reaksi dapat
dinyatakan dalam batasan tiap reaktan atau produk
Dimana a,b,,,p,q adalah
koefisien-koefisien stokiometris dari reaktan dan produk, l,m adalah orde dari
reaksi terhadap A,B.(Dogra,S.K.2008:623)
Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk
matematik dimana hasil percobaan dapat ditunjukkan. Orde reaksi hanya dapat
dihitung secara eksperimen, dan hanya dapat diramalkan jika suatu mekanisme
reaksi diketahui ke seluruh orde reaksi yang dapat ditentukan sebagai jumlah
dari eksponen untuk masing-masing reaktan, sedangkan harga eksponen untuk
masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi untuk komponen
itu.(Dogra,S.K.2008:624)
Dalam reaksi orde II, laju berbanding
langsung dengan kuadrat konsentrasi dari satu reaktan atau dengan hasil kali
konsentrasi yang meningkat sampai pangkat satu atau dua dari reaktan-reaktan
tersebut.(Dogra,S.K.2008:628)
Reaksi penyabunan etilasetat dengan ion
hidroksida
CH3COOC2H5 +
OH- → CH3COO- + C2H5OH
Bukan merupakan reaksi
sederhana, namun ternyata bahwa reaksi ini merupakan reaksi orde kedua,hokum
laju reaksinya sebagai berikut:
= k1 [ester] [OH-]
Atau sebagai :
Dengan : a = konsentrasi awal ester,dalam
mol liter-1
b = konsentrasi awal ion OH,dalam mol liter-1
x = jumlah mol liter-1 ester atau
basa yang telah bereaksi
k1= tetapan laju reaksi
(Tim Dosen Kimia
Fisik.2010:1)
Orde reaksi adalah banyaknya factor
konsentrasi zat reaktan yang mempengaruhi kecepatan reaksi. Penentuan orde
reaksi tidak dapat diturunkan dari persamaan reaksi tetapi hanya dapat
ditentukan berdasarkan percobaan. Suatu reaksi yang diturunkan secara
eksperimen dinyatakan dengan rumus kecepatan reaksi :
V = k [A] [B]2
Persamaan tersebut
mengandung pengertian reaksi orde 1 terhadap zat A dan merupakan reaksi orde 2
terhadap zat B. Secara keseluruhan reaksi tersebut adalah reaksi orde 3.(Anonim.2010)
D.
ALAT
DAN BAHAN
1.
Alat
yang digunakan yaitu:
Ø Labu
Erlenmeyer bertutup asa 250 ml 6 buah
Ø Termometer
1000C 2 buah
Ø Pipet
volume 10 ml, 20 ml dan 25 ml
Ø Buret
50 ml 1 buah
Ø Statif
dan klem
Ø Botol
semprot 1 buah
Ø Gelas
kimia 100 ml
Ø Stopwatch
2 buah
Ø Corong
biasa 1 buah
Ø Batang
pengaduk 1 buah
2.
Bahan
yang digunakan yaitu:
Ø Larutan
NaOH 0,02M
Ø Larutan
HCl 0,02M
Ø Indikator
phenolphthalein
Ø Etil
asetat p.a
Ø Aquades
Ø Tissue
E.
PROSEDUR
KERJA
1. Memipet
50 ml larutan NaOH dan 50 ml larutan etil asetat lalu memasukkan ke dalam
sebuah labu Erlenmeyer bertutup.
2. Mengukur
suhu kedua larutan tersebut hingga suhu kedua larutan sama.
3. Kemudian
memipet 20 ml larutan HCL 0,02M lalu dimasukkan ke dalam 6 buah erlenmeyer.
4. Mencampur
larutan NaOH dan larutan etil asetat yang suhunya sama kemudian dikocok dan
menjalankan stopwatch pada saat kedua larutan bercampur.
5. Memipet
10 ml dari campuran reaksi pada menit ketiga lalu menambahkan 3 tetes indicator
pp kemudian dititrasi dengan larutan NaOH hingga berwarna pink.
6. Melakukan
pengambilan seperti pengerjaan 5 pada menit ke 8,15,25,40 dan 65.
7. Kemudian
menstandarisasi larutan NaOH yang ingin diketahui konsentrasinya secara pasti
dan teliti dengan cara mengambil 25 ml larutan etil asetat dan ditambahkan
indicator pp lalu dengan NaOH 0,02M.
F.
HASIL
PENGAMATAN
Menyediakan
50 ml larutan NaOH dan 50 ml larutan etil asetat
50
ml larutan NaOH + 50 ml larutan etil asetat (suhu 280C) → larutan
bening
20
ml larutan HCl 0,02M + 10 ml larutan campuran (3 menit) + 3 tetes indicator pp
→ larutan bening ,lalu dititrasi dengan NaOH 0,02M → larutan berwarna pink muda.
0,216
gram etilasetat + 100 ml aquades (dikocok) → larutan bening
25
ml larutan etilasetat + 3 tetes indicator pp (dititrasi dengan NaOH 0,02M) →
larutan berwarna merah muda,volume NaOH yang digunakan 76,8 ml.
G.
ANALISIS
DATA
1. Standarisasi
NaOH
Diketahui : Volume H2C2O4
= 10 ml
Massa H2C2O4.2H2O
= 0,25 gram
Mr H2C2O4.
2H2O = 126 gram/mol
Ditanya : M NaOH =….?
Penyelesaian :
N NaOH =
=
0,0132 N
M
= 0,0132 M
2. Penentuan Tetapan laju reaksi
Diketahui : [ CH3COOC2H5] =
a = 0,02 M
[ NaOH ] = b = 0,0132 M
VNaOH = 50 ml
Ditanya : K =……?
a. Titrasi 1
VNaOH = 16,00 ml
t = 3 menit = 180 s
mmol NaOH = M x V
=
0,0132 M x 16,00 ml
=
0,2112 mmol
X =
Ln
Ln = k(0,02-0,0132)M.180 s
Ln = k(0,0068)M.180 s
0,148 =
k (1,224) MS
K = 0,121 M-1S-1
b. Titrasi 2
VNaOH
= 17,10 ml
t
= 8 menit = 480 s
mmol NaOH = M x V
=
0,0132 M x 17,10 ml
=
0,225 mmol
X =
Ln
Ln = k(0,02-0,0132)M.480 s
Ln = k(0,0068)M.180 s
0,162
= k (3,264) MS
K = 0,0496 M-1S-1
c. Titrasi 3
VNaOH = 17,30 ml
t = 15 menit = 900 s
mmol NaOH = M x V
=
0,0132 M x 17,30 ml
=
0,228 mmol
X =
Ln
Ln = k(0,02-0,0132)M.900 s
Ln = k(0,0068)M.900 s
0,165 =
k (6,12) MS
K = 0,0269 M-1S-1
d. Titrasi 4
VNaOH = 17,70 ml
t = 25 menit = 1500 s
mmol NaOH = M x V
=
0,0132 M x 17,70 ml
=
0,2336 mmol
X =
Ln
Ln = k(0,02-0,0132)M.1500s
Ln = k(0,0068)M.1500 s
0,1708 = k
(10,2) MS
K = 0,0167 M-1S-1
e. Titrasi 5
VNaOH = 18,80 ml
t = 40 menit = 2400 s
mmol NaOH = M x V
=
0,0132 M x 18,80 ml
=
0,248 mmol
X =
Ln
Ln = k(0,02-0,0132)M.2400 s
Ln = k(0,0068)M.2400 s
0,186
= k (16,32) MS
K = 0,011 M-1S-1
f. Titrasi 6
VNaOH = 18,90 ml
t = 65 menit = 3900 s
mmol NaOH = M x V
=
0,0132 M x 18,90 ml
=
0,249 mmol
X =
Ln
Ln = k(0,02-0,0132)M.3900 s
Ln = k(0,0068)M.3900 s
0,1869 =
k (26,52) MS
K = 0,0070 M-1S-1
Nilai K rata-rata adalah :
K rata-rata =
= M-1S-1
= 0,0387 M-1S-1
H.
PEMBAHASAN
Pada
percobaan ini yang pertama dilakukan yaitu memasukkan masing-masing 50 ml
larutan NaOH dan etil asetat yang telah dilarutkan dengan air sebanyak 100 ml
pada konsentrasi 0,02M ke dalam labu Erlenmeyer bertutup. Digunakan labu
erlenmeyer bertutup agar larutan tidak terkontaminasi dengan udara luar
sehingga larutan tersebut tidak menguap. Kedua campuran ini kemudian disamakan
suhunya agar pada saat dicampur nanti bias cepat terjadi reaksi penyabunan.
Apabila
larutan NaOH dan etilasetat langsung dicampurkan dengan cepat pada larutan
NaOH. Hal ini dilakukan karena etilasetat pada percobaan ini membutuhkan reaksi
penguraian sehingga jika dilarutkan etilasetat dituangkan ke dalam larutan NaOH
maka akan terjadi reaksi penguraian yaitu asam ditambah basa akan menghasilkan
garam dan alcohol yaitu :
CH3COOC2H5 + OH-
→ CH3COO-
+ C2H5OH
NaOH
+
HCl → NaCl + H2O
HCl(sisa)
+ NaOH → NaCl + H2O
Campuran
antara etilasetat dan NaOH ini harus dikocok terus agar reaksi penguraiannya
dapat berlangsung terus. Pada saat kita mencampurkan maka kita langsung menjalankan
stopwatch selama 3 menit. Setelah 3 menit kita memipet larutan campuran reaksi
dan memasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang berisi larutan HCl. Larutan ini
kemudian dikocok lalu ditambahkan indicator pp, penambahan ini berfungsi
sebagai indicator,agar terjadinya titik akhir titrasidan titik ekivalen dari
larutan yang akan dititrasi,kemudian larutan tersebut dititrasi dengan larutan
NaOH 0,02M. Perlakuan ini berfungsi untuk mengikat HCl yang berlebih sehingga
reaksi penyabunannya berhenti. Pada saat melakukan titrasi hendaknya dilakukan
dengan cepat agar campuran larutan tidak menguap karena hasil reaksi tersebut
menghasilkan alcohol,dimana alcohol itu mudah menguap. Larutan HCl berfungsi
untuk mengasamkan campuran, sehingga akan menghentikan reaksi. Adapun prinsip
kerja dari percobaan ini yaitu suatu reaksi penyabunan yang didasarkan atas
titrasi asam basa,di mana titrasi ini bertujuan untuk menghentikan reaksi
penyabunan agar tidak mengalami reaksi lebih lanjut.
I.
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Berdasarkan
analisis data ditentukan bahwareaksi antara etilasetat dengan ion hidroksida
adalah reaksi orde dua.
2. Tetapan
laju reaksi antara etilasetat dengan ion hidroksida dapat ditentukan dengan
cara titrasi.
3. Tetapan
laju yang di peroleh adalah 0,121 M-1S-1, 0,0496 M-1S-1,
0,0269 M-1S-1, 0,0167 M-1S-1, 0,011
M-1S-1 dan 0,007- M-1S-1.
4. Semakin
lama waktu yang dibutuhkan campuran untuk bereaksi maka semakin banyak NaOH
yang digunakan.
b. Saran
Sebaiknya
praktikan harus lebih teliti dalam melakukan titrasi agar diperoleh hasil yang
akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2010.
Orde Reaksi. http:// orde
reaksi.org.wikipedia. Diakses pada tanggal 8 Desember 2010.
Atkins,P.W.1997.
Kimia Fisik edisi keempat. Jakarta :
Erlangga.
Dogra,S.K.
2008. Kimia Fisika dan soal-soal .
Jakarta : Erlangga.
Ralph
H,Petrucci.2005. Kimia Dasar. Jakarta
: Erlangga.
Tim
Dosen Kimia Fisik.2010. Penuntun
Praktikum Kimia Fisik . UNM. Makassar.
Langganan:
Postingan (Atom)